Lingkungan Ekonomi Politik
Pemerintahan Baru
Akan cukup serius kalau misalnya ,
karena terjadi suatu hal (politik uang , antara lain) di MPR , hanya itu-itu
saja yang terpilih. Bisa jadi pemerintahan tidak akan bekerja secara lancar
karena , pertama setiap kali akan diganjal oleh “oposisi” di DPR , kedua LSM
dan gerakan-gerakan rakyat (khususnya mahasiswa) akan sering memenuhi jalanan
di Jakarta. Citra pemerintahan yang masih berbau Orde Baru akan tetap labil dan
sangat lemah , sehingga tidak akan menguntungkan kebangkitan kembali ekonomi.
Akan tetapi
dizaman Orde baru yang lalu DPR hanya sekedar stempelnya pemerintah , sehingga
profesionalitas seorang menteri tidak pernah teruji. Di masa yang mendatang ,
DPR diharapkan akan jauh lebih bergigi. Lagi pula , partai-partai yang
mendukung pemerintah baru tidak akan mempunyai mayoritas yang besar. Memerintah
akan menjadi lebih sukar. Maka sebenarnya bagaimana pun formasinya ,
pemerintahan baru nanti akan lemah dalam meluncurkan kebijakan dan menjalankannya
, karena akan terjadi tawar-menawar yang sangat intensif dan memakan waktu.
Satu yang
sangat pasti adalah bahwa kebijakan ekonomi pemerintahan mendatang tidak akan
lepas dari dan bahkan terikat perjanjian dengan IMF. Patut dicatat juga , tidak
ada pemimpin parpol besar yang secara mutlak menolak peran serta kebijakan IMF
, meski banyak yang berbeda (dengan IMF) dalam hal prioritas dan jadwal
pelaksanaannya. Misalnya dalah hal penyehatan perbankan “apakah tidak lebih
baik menutup bank-bank pemerintah karna biaya rekapitalisasinya terlalu besar
sementara bank-bank BUMN ini sebetulnya lebih keropos dan sangat berbau KKN
ketimbang bank-bank swasta”. IMF sudah punya jawaban , bahwa alternative itu
sangat mungkin lebih jelek. Kalau Bank-bank BUMN dilikuidasi maka pemerintah
harus menanggung jaminan segala deposito. Lagi pula kalau bank-bank BUMN sampai
ditutup maka kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan akan hilang
total.
Kesimpulannya
, walaupun biaya sangat besar , bank-bank BUMN harus diselamatkan. Biaya rekapitalisasinya
bisa dikurangi dengan menuntut serta memaksa agar debitur yang mampu segera
membayar kembali utangnya , dan kalau debitur yang mampu segera membayar
kembali utangnya, dan kalau debitur betul-betul tidak mampu maka asetnya yang
sudah dikuasai pemerintah dijual saja.
Neiss
mengatakan bahwa antara IMF dan pemerintah yang mengalami krisis
ekonomi-moneter dicapai suatu “bargain” (perjanjian suka rela , hasil
tawar-menawar). Negara yang jatuh kejurang krisis memerlukan pertolongan dan
injeksi dana devisa yang sangat besar.IMF adalah organisasi internasional ,
bagian keluarga besar PBB yang juga ikut dimiliki Negara-negara Asia. Lagi pula
, kalau IMF terlibat maka Bank Dunia dan Bank Pebangunan Asia akan ikut serta.
Jadi , kalau
pemerintah Negara dalam krisis juga menerima kewajiban unttuk megadakan
perbaikan “governance” nya. Artinya mengadakan berbagai ,reformasi kelembagaan
, memangkas KKN dan mengawasi perbankan
secara lebih ketat dan efktif. Apakah pemulihan ekonomi harus menuggu sampai
pemerintah baru terbentuk? Kirannya tidak demikian. Reaksi pasar yang positif
terhadap hasil pemilu dan arah pembentukan pemerintah yang memeliki legitimasi
menjadi bukti bahwa persoalan siapa yang menjadi presiden tidak langsung
berpengaruh. Logika pasar adalah persoalan kepercayaan. Soal ekonomi bisa
dipercayakan kepada menteri-menteri yang professional.
Sumber : Buku Ekonomi Indonesia Baru , Penulis Anggito Abrimanyu,
Penerbit PT. AlexMedia Komputindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar